Posts Tagged 'rating'

Rating Lebih Berbahaya dari Amplop

Oleh Nur Hidayat

Di jejaring sosial Facebook, Hedi Pudjo Santoso, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, menulis status yang menarik: ada stasiun televisi yang menjadikan berita tentang kemenangan Jerman atas Australia dan Ariel Peterpan sakit sebagai berita pembuka. Sebagai doktor komunikasi, Hedi agaknya tergelitik untuk mengajak publik bertanya, apa manfaat berita Ariel itu buat publik?

Pengelola televisi itu, barangkali, tidak pernah mementingkan apa manfaat berita itu, tetapi mereka tahu persis bahwa berita tentang Ariel akan menaikkan rating acaranya. Rating adalah angka yang memperlihatkan banyaknya penonton yang melihat sebuah acara televisi, tidak peduli apakah tayangan itu baik atau buruk, bermanfaat atau tidak.

Jadi, kepentingan publik dikalahkan oleh kepentingan sang pengelola demi rating. Semakin tinggi rating-nya, semakin banyak iklan yang akan diperoleh stasiun televisi itu. Semakin banyak iklan yang diperoleh, semakin sejahteralah televisi itu, dan semakin banyaklah uang yang diterima karyawannya, termasuk wartawan yang ditugasi untuk berperangai mirip burung condor: mengais-ngais sisa berita tentang Ariel. Berita pun bisa melebar ke mana-mana, tidak hanya tentang Ariel, tapi juga bekas istrinya, anaknya, dan siapa saja yang bersedia menjawab pertanyaan wartawan.

Fenomena rating ini terjadi karena memang free TV masih diizinkan untuk bersiaran nasional. Pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran, yang sudah melarang televisi nasional, masih terus diundurkan dengan berbagai dalih. Intinya, undang-undang itu melarang televisi bersiaran nasional dan hanya mengizinkan televisi berjaringan. Televisi hanya boleh bersiaran lokal di Jakarta, sehingga penyebarluasan informasi dan hiburan ke berbagai daerah akan dilakukan oleh televisi lokal. Semangat undang-undang itu tidak lain adalah menghidupkan televisi lokal. Jika ini terjadi, kue iklan tidak hanya dimonopoli oleh televisi swasta nasional di Jakarta.

Namun ada gerilya yang menghalangi pelaksanaan undang-undang itu dari pihak yang ingin mempertahankan status quo. Ujung-ujungnya adalah karena sistem pertelevisian yang sekarang memang mampu memberikan keuntungan dari iklan hanya kepada beberapa gelintir televisi swasta nasional. Maka, tidak aneh, televisi lokal di berbagai kota di Indonesia kalah jauh dalam soal perolehan iklan.

Beberapa televisi swasta nasional akhirnya harus bertempur membuat program yang bisa menangguk rating tinggi. Repotnya, tayangan yang punya rating tinggi itu rata-rata merupakan tayangan yang sebenarnya dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia.

Awalnya, ini terjadi pada program yang bersifat hiburan, seperti sinetron. Pengelola televisi pun berlomba menyiarkan sinetron horor sehingga televisi seperti menjadi tempat referensi terlengkap tentang aneka bentuk hantu di dalam dan luar negeri. Setelah film horor, muncul opera sabun yang memperlihatkan betapa jahatnya anak-anak SMP yang tega berencana membunuh siapa saja hanya karena harta atau cinta.

Repotnya, kini rating juga merambah program berita di televisi. Program berita juga dituntut untuk memiliki rating tinggi jika tetap ingin dipertahankan jam siarnya lantaran ada pemasukan dari iklan. Jika program televisi itu masih merupakan cerita fiksi, barangkali akrobat gampang dilakukan para pengelola televisi ketika hendak menaikkan rating. Cerita sinetron tinggal dibelokkan sesuai dengan alur cerita yang mengindikasikan rating tinggi. Tapi, apa yang terjadi jika pejabat stasiun televisi meminta berita dengan rating tinggi?

Berita tentang Ariel itulah salah satu contohnya. Sebagai wartawan, pengelola berita televisi itu sudah mengorbankan kepentingan publik, demi rating, demi iklan, demi uang. Seperti pertanyaan Hedi di awal tulisan ini, jika publik tahu Ariel sakit setelah ditengarai membuat film porno, apa manfaat yang diperoleh publik?

Jika kebijakan redaksional televisi bermuara pada rating, rasanya kebijakan ini jauh lebih buruk daripada membiarkan wartawan menerima amplop dari narasumber untuk menutupi fakta di lapangan. Selama ini, sebagian wartawan memang menerima amplop (tentu saja berisi sejumlah uang) dari narasumber ketika bekerja. Dampak paling berbahaya dari amplop ini adalah, sang wartawan akan bekerja demi memperoleh uang di dalam amplop itu, dan akan menafikan kepentingan publik yang seharusnya mereka suarakan ketika membuat berita.

Wartawan yang paham tentang bahaya amplop masih bisa mengelak menerima amplop, meskipun perusahaan pers tempatnya bekerja tidak secara resmi melarangnya. Dengan idealismenya, toh sang wartawan masih bisa mencari berita yang lain karena transaksi amplop ini biasanya terjadi di lapangan, di luar ruang redaksi.

Namun, ketika rapat redaksi sebuah stasiun televisi sudah memutuskan untuk memuat berita demi rating tinggi dengan mengabaikan kepentingan publik, sang wartawan yang memperoleh tugas tidak akan mampu lagi mengelak. Jika dia tidak berhasil memperoleh berita tersebut, dia akan dianggap sebagai tidak bisa bekerja dengan baik. Maka, dia terpaksa harus mengubur mimpinya untuk menjadi Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua wartawan The Washington Post yang menyelidiki kasus korupsi Watergate yang ada kaitannya dengan Presiden Richard Nixon, seperti dalam film All The President’s Men. Jadi, rating jauh lebih berbahaya daripada amplop bagi para jurnalis. (Sumber: Koran Tempo, 19 Juni 2010)

Tentang penulis:
Nur Hidayat, manajer program TEMPO TV, content provider berbasis jurnalisme



ISSN 1979-9373
ISSN GagasanHukum.WordPress.Com

ARSIP

KLIK TERTINGGI

  • Tidak ada

STATISTIK PENGUNJUNG

  • 2.679.496 hits
Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031